Timah Bangka tak jadi tuan di rumah sendiri
PANGKAL PINANG. Pernahkah Anda mendengar sebutan Indonesia Tin Belt?
Ini adalah sebutan bagi sebaran bijih timah yang bak urat nadi menjalar
di seluruh Bangka dan Belitung. Letaknya pun tak jauh dari permukaan
tanah. Maka, berbeda dengan tambang di China, di mana orang harus
menggali dalam-dalam dulu baru menemukan timah, di Bangka, orang biasa
bahkan dapat melimbang timah di halaman rumahnya.
Dengan kekayaan timah Babel itu,
Indonesia menjadi produsen timah terbesar kedua di dunia setelah China.
Menurut US Geological Survey 2010, cadangan timah Indonesia 800.000 ton.
Sejak tahun 2000, Indonesia memproduksi 80.000-100.000 ton timah per
tahun.
Sayangnya, industri manufaktur
lokal yang tidak berkembang menyebabkan lebih dari 90% produksi timah
itu diekspor. Tahun lalu, ungkap data Kementerian Perdagangan, Indonesia
mengekspor 92.487 ton timah. Indonesia pun ternama sebagai eksportir
timah terbesar dunia.
Meski begitu, Indonesia tak punya
kontrol atas harga timah, malah harus tunduk pada harga internasional di
bursa London Metal Exchange (LME). Tak pelak, ketika sentimen negatif
krisis menghantam harga timah dunia, pengusaha timah Babel pun
berteriak.
Di bawah Indonesian Tin Association (ITA), para pengusaha yang terdiri dari 28 smelter
timah itu akhirnya sepakat melakukan moratorium sejak Oktober lalu.
“Ini untuk pertama kalinya pengusaha bersatu. Bukannya gampang
menyatukan para smelter ini,” kata Johan Murod, Direktur PT Bangka Belitung Timah Sejahtera.
Sayang, dua bulan berjalan,
kesepakatan itu bubar. Setelah PT Koba Tin tepergok ekspor, satu demi
satu perusahaan mengekspor lagi. Harga timah pun tetap jauh di bawah
target ITA US$ 25.000 per ton.
Ekspor ilegal
Saat moratorium berlaku, harga
timah juga tak kunjung naik. Padahal stok di LME sudah menyusut jadi
11.960 metriks ton (23/12). Sedangkan stok normal menurut Wachid Usman,
Direktur Utama PT Timah Tbk, sekitar 15.000-16.000 ton.
Sedang di sisi permintaan,
konsumen timah Babel kebanyakan pasar Asia yang tak terhantam krisis.
“Ini berarti ada stok tersembunyi. Pembeli masih dapat timah dari stok
itu,” ucap Wachid.
Penyelundupan timah ini bukan
cerita baru. “Suplai timah lewat jalan belakang itu tak terhitung,“ kata
peneliti timah dari LIPI, Erwiza Erman. Penyelundupan itu antara lain
dilakukan melalui pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau, bahkan si pembeli
membayar kontan.
Praktek ini, kata dia, dilakukan
oleh hampir semua pemain timah Babel. Menurutnya, mereka 'sudah tahu
sama tahu'. "Mereka saling menuduh, saling memonitor, saling mengadu,
dan saling mengawasi,” ujarnya.
Timah-timah itu antara lain dijual
ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. “Tambang timah di Malaysia dan
Thailand itu sudah tak banyak berproduksi lagi. Dari mana mereka dapat
pasokan kalau bukan dari Indonesia?” kata Rudi Irawan, Presiden Direktur
PT Mitra Stania Prima. Timah asal Babel itu akhirnya di-rebranding lagi dengan merek timah Malaysia dan Thailand.
Tak hanya itu, makin banyak investor China, Singapura, dan Malaysia yang masuk. Mereka memodali smelter dan kolektor timah demi mendapat pasokan.
Menurut Erwiza, mereka juga
berkepentingan atas harga timah yang murah. Bahkan, harga timah LME
bisa jadi adalah permainan spekulan komoditas timah. “Di LME itu banyak
pialang dari Singapura,” imbuhnya.
Solusi agar Indoneia mengontrol
harga timah sebenarnya sudah ada yaitu dengan bursa timah nasional. Pada
12 Januari 2012, bursa fisik timah yang bernama Indonesia Tin Market
(INATIN) bakal berjalan.
Namun, jalannya bursa timah ini masih terkendala penolakan ITA.
Hidayat Arsani, Ketua ITA mengatakan, konsep INATIN berbeda dengan
usulan awal asosiasi yakni Babel Tin Market (BTM). Melihat hal ini,
Erwiza menyarankan para pengusaha timah bersatu untuk menjalankan bursa
timah. “Harus solid, konflik internal ditiadakan dulu,” tandasnya.
n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar