Kamis, 12 Januari 2012

Timah Bangka tak jadi tuan di rumah sendiri


PANGKAL PINANG. Pernahkah Anda mendengar sebutan Indonesia Tin Belt? Ini adalah sebutan bagi sebaran bijih timah yang bak urat nadi menjalar di seluruh Bangka dan Belitung. Letaknya pun tak jauh dari permukaan tanah. Maka, berbeda dengan tambang di China, di mana orang harus menggali dalam-dalam dulu baru menemukan timah, di Bangka, orang biasa bahkan dapat melimbang timah di halaman rumahnya.
Dengan kekayaan timah Babel itu, Indonesia menjadi produsen timah terbesar kedua di dunia setelah China. Menurut US Geological Survey 2010, cadangan timah Indonesia 800.000 ton. Sejak tahun 2000, Indonesia memproduksi 80.000-100.000 ton timah per tahun.
Sayangnya, industri manufaktur lokal yang tidak berkembang menyebabkan lebih dari 90% produksi timah itu diekspor. Tahun lalu, ungkap data Kementerian Perdagangan, Indonesia mengekspor 92.487 ton timah. Indonesia pun ternama sebagai eksportir timah terbesar dunia.
Meski begitu, Indonesia tak punya kontrol atas harga timah, malah harus tunduk pada harga internasional di bursa London Metal Exchange (LME). Tak pelak, ketika sentimen negatif krisis menghantam harga timah dunia, pengusaha timah Babel pun berteriak.
Di bawah Indonesian Tin Association (ITA), para pengusaha yang terdiri dari 28 smelter timah itu akhirnya sepakat melakukan moratorium sejak Oktober lalu. “Ini untuk pertama kalinya pengusaha bersatu. Bukannya gampang menyatukan para smelter ini,” kata Johan Murod, Direktur PT Bangka Belitung Timah Sejahtera.
Sayang, dua bulan berjalan, kesepakatan itu bubar. Setelah PT Koba Tin tepergok ekspor, satu demi satu perusahaan mengekspor lagi. Harga timah pun tetap jauh di bawah target ITA US$ 25.000 per ton.
Ekspor ilegal
Saat moratorium berlaku, harga timah juga tak kunjung naik. Padahal stok di LME sudah menyusut jadi 11.960 metriks ton (23/12). Sedangkan stok normal menurut Wachid Usman, Direktur Utama PT Timah Tbk, sekitar 15.000-16.000 ton.
Sedang di sisi permintaan, konsumen timah Babel kebanyakan pasar Asia yang tak terhantam krisis. “Ini berarti ada stok tersembunyi. Pembeli masih dapat timah dari stok itu,” ucap Wachid.
Penyelundupan timah ini bukan cerita baru. “Suplai timah lewat jalan belakang itu tak terhitung,“ kata peneliti timah dari LIPI, Erwiza Erman. Penyelundupan itu antara lain dilakukan melalui pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau, bahkan si pembeli membayar kontan.
Praktek ini, kata dia, dilakukan oleh hampir semua pemain timah Babel. Menurutnya, mereka 'sudah tahu sama tahu'. "Mereka saling menuduh, saling memonitor, saling mengadu, dan saling mengawasi,” ujarnya.
Timah-timah itu antara lain dijual ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. “Tambang timah di Malaysia dan Thailand itu sudah tak banyak berproduksi lagi. Dari mana mereka dapat pasokan kalau bukan dari Indonesia?” kata Rudi Irawan, Presiden Direktur PT Mitra Stania Prima. Timah asal Babel itu akhirnya di-rebranding lagi dengan merek timah Malaysia dan Thailand.


Tak hanya itu, makin banyak investor China, Singapura, dan Malaysia yang masuk. Mereka memodali smelter dan kolektor timah demi mendapat pasokan.
Menurut Erwiza, mereka juga berkepentingan atas harga timah yang murah. Bahkan, harga timah LME bisa jadi adalah permainan spekulan komoditas timah. “Di LME itu banyak pialang dari Singapura,” imbuhnya.
Solusi agar Indoneia mengontrol harga timah sebenarnya sudah ada yaitu dengan bursa timah nasional. Pada 12 Januari 2012, bursa fisik timah yang bernama Indonesia Tin Market (INATIN) bakal berjalan.
Namun, jalannya bursa timah ini masih terkendala penolakan ITA. Hidayat Arsani, Ketua ITA mengatakan, konsep INATIN berbeda dengan usulan awal asosiasi yakni Babel Tin Market (BTM). Melihat hal ini, Erwiza menyarankan para pengusaha timah bersatu untuk menjalankan bursa timah. “Harus solid, konflik internal ditiadakan dulu,” tandasnya. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar